Episode 1
Perjalanan
sejarah berlangsung sangat panjang dan tak di ketahui di mana ujungnya. Ada dua
wangsa yang tercatat dan keberadaan mereka di tandai dengan megah dalam wujud
candi Borubudur di arah barat Gunung Merapi dan candi Jonggrang di Prambanan di
arah selatan gunung iu pula. Garis keturunan Syailendra dan garis keturunan
Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Budha
marak mewarnai kehidupan segenap rakyat. Hukum ditegakkan negara dalam keadaan
gemah ripah loh jinawi.
Dari
prasasti Balitung diulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu, Raja
Mataam Pertama adalah sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak,
Garuk, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal
tertulis bahwa pada tahun saka yang telah lalu di tandai angka Caka Cruti
Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan
Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda
di bukit yang bernama Strirangga untuk keselamatan rakyat.
Perjalanan
Waktu mengubah segalanya. Pemerintahan di tanah Jawa Dwipa bergeser ke arah
timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas Warmeda di Bali dan
Sriwijya di Sumatra. Sejak berkuasanya Sindok, Jawa bagian timur menggantikan
Jawah wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya
banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garis keturunan
berikunya, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa , yang memerintah
dengan aman dan damai negara Medang Kamulan.
Manakala
Sri Dharmawangsa pralaya, Airlangga berhasil meloloskan diri serta membangun
kembali reruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, atau dalam sengkalan Gatra Candra
Maletik Ing Sasadara, oleh para pandeta Budha, Siwa, dan Hindu, Airlangga
benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya. Namun, sebuah
kakeliruan telah dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan
kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua. Sri Sanggramawijaya, sang
pewaris takhta yang ternyata tidak bersedia dinobatkan menjadi raja, mendorong
Airlangga untuk bertindak adil atas dua anak yang lain. Kahuripan dibelah
menjadi jenggala yang beribu kota di kahuripan dan panjalu yang beibu kota di
Daha. Sebagaimana terlihat dari jejak-jejaknya, Jenggala tidak mampu berkembang
menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya
Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.
Berturut-turut
Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, di lanjutkan oleh Sri Kameswara yang
bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuwanatustikirana
Sarwaniwayawan Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa
Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring.
Selanjutnya,
pemerintahan Prabu Jayabhaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmecwara
Madhusudanawataranindhita Suhartsingha Parakramma Digjayotunggadewa,
menggunakan lencana kerajaan berupa Narasingha. Jayabhaya digantikan
Sarwecwara, selanjutnya digantikan Sri Aryyeccwara surut digantikan Sri Gandra
yang bergelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handhabuwanapalaka
Parakramanindita Digjayatunggadewanama Sri Gandra.
Pemerintahan
Sri Gandra berakhir, dilanjutkan Raja Crngga yang bergelar Sri Maharaja Sri
Sarwwecwara Triwikramawataanindita Crnggalancana Digwijayotunggadewa, yang
menggunakan Changka atau kerang bersayap sebagai lambang kerajaan.
Raja
Kediri terakhir, Sri Kertajaya,
menggunakan lambang Gaudhamuka sebagaimana Airlangga, leluhurnya. Akan tetapi,
Sri Kertajaya menganggap dirinya sebagai penjelmaan dewa dan meminta kepada
para Brahmana, pendeta Siwa dan Buddha untuk menyembahnya. Para pemuka agama
tak bisa menerima perlakuan itu dan merestui Ken Arok, maling kecil dari
Karautan untuk melakukan makar setelah dengan gemilang berandalan ini merampok
kekuasaan Tumapel melalui kelicikan otaknya.
Nasib
kertajaya berakhir ketika Ken Arok mengalahkan dalam pertempuran yang amat
berdarah di Ganter. Sejak itu garis keturunan Ken Arok mulai berkibar sekaligus
banyak diwarnai peristiwa berdarah. Keris Empu Gandring berbicara atas nama
dendam. Berturu-turut mati tertikam oleh keris dengan pamor berbau amarah itu :
Empu Gandring sang pencipta keris itu sendiri, di susul Tunggul Ametung, Akuwu
Tumapel yang beristrikan Sang Ardhanareswari yang cantik jelita, Ken Dedes.
Selanjutnya, mati menyedihkan Kebo Ijo yang menjadi korban fitnah dan kelicikan
Ken Arok ketika mengangkat diri sendiri menjadi Akuwu di Tumapel dan nantinya
menjadi Raja pertama di Singasari bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi.
Ken Arok menjadi korban keganasan keris yang sama, ia harus menggeliat sekarat
dibunuh Batil Pangalasan utusan Anuspati. Batil Pengalasan membayar dengan
nyawanya karena Anuspati tidak ingin rahasianya terbongkar, disusul kemudian
oleh kematian Anuspati dalam permainan adu jago melalui tikaman yang tidak
terduga yang dilakukan oleh Tohjaya, anak Umang.Terakhir, Tohjaya harus
membayarnya melalui kematian yang hina, Raja Singasari ini di bunuh oleh
pengangkat tandunya sendiri setelah diterjang banjir bandang akibat gempuran
gabung kekuatan Ranggawuni, ank Anuspati dan Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong A
Teleng.
Pemerintahan
yang terjadi banyak di warnai dengan perebutan kekuasaan dan persaingan. Antara
garis keturunan Ken Dedes dan Ken Umang saling mengintip celah untuk saling
menjatuhkan, serta kemungkinan Kediri bakal bangkit kembali dan menusuk dari
arah belakang.
Kertenagara
lengah. Ketika segenap prajurit dia kirim ke Pamalayu, bagaikan banjir bandang
prajurit Kediri menyerang Singasari. Pasukan yang ada tak sanggup membendung
serbuan pasukan Jayakatwang.
Raden
Wijaya, anak Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka yang menjadi menantu Kertanegara
memcoba menyusun kembali puing-puing pilar pemerintahan yang runtuh. Di bumi
Tarik, Raden Wijaya memulai babat hutan, dan dinamailah tempat itu Majapahit
hanya oleh sebuah alasan didapat buah maja yang terasa pahit. Majapahit juga
berarti Wilwatika. Atas dukungan para pendeta, Brahmana Buddha dan Syiwa, Raden
Wijaya naik takhta bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Majapahit
tumbuh dan berkembang, teatapi tetap saja di warnai dengan banyak makar yang
berawalan dari ketidakpuasan. Ranggalawe yang tidak bisa menerima kenyataan
bahwa bukan ia yang di angkat menjadi Mahapatih memilih mengangkat senjata.
Kidung Ranggalawe bertutur bagaimana Kebo Anabrang berhasil membunuh
Ranggalawe. Dalam kidung Sorandaka diceritakan pula bagaimana Kebo Anabrang
mampu meredam pemberontakan Sora. Nambi dan ayahnya mengangkat senjata dengan
membuat beteng di Pajarakan, tetapi Pajarakan dan Lumajang dapat digilas. Nambi
dan segenap keluarganya ditumpas. Di Lasem, Ra Semi juga mengangkat senjata memerdekakan
diri, mencoba meniru yang dilakukan Ken Arok terhadap Kertajaya di Kediri.
Hingga
akhirnya tibalah kini, para Rakrian Dharma Putra Winehsuka melakukan makar.
Bersambung
(Sumber
: Novel Indonesia Gajah Mada 1 Karya Langit Kresna Hariadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar