Gedung Sate
Gedung Sate
terletak di Jalan Diponegoro No. 22, Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong.
Lingkungan Gedung Sate merupakan suatu kawasan bersejarah, karena bangunan kuno
dari masa Kolonial Hindia Belanda relatif banyak, seperti Museum Geologi,
Museum Pos Indonesia, Gedung Dwiwarna, Rumah Tinggal dan sebagainya. Secara
Geografis Gedung Sate berada pada koordinat 107º37'07,9" BT dan
06º54'05,4" LS, dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan
perkantoran, pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui
jalan raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau
2 ataupun menaiki kendaraan umum (Bis/Angkot) yang melewati kawasan ini relatif
banyak.
Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 yang merupakan hasil perencanaan dari sebuah tim yang dipimpin oleh J. Gerber, Eh. De Roo, dan G. Hendriks serta Gemeente van Bandoeng yang diketuai V.L. Slors. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops (puteri sulung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jendral Batavia. Langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental. Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan unik. Gedung Sate memiliki areal kawasan seluas ± 27.990,859 m² dan luas gedung ± 10.877,734 m². Gedung Sate ini berbatasan dengan utara: Jalan Diponegoro/Lapangan Gasibu, timur: Jalan Cilaki/Gedung Museum Pos Indonesia, selatan: Jalan Cimanggis, barat: Jalan Cimalaya.
Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 yang merupakan hasil perencanaan dari sebuah tim yang dipimpin oleh J. Gerber, Eh. De Roo, dan G. Hendriks serta Gemeente van Bandoeng yang diketuai V.L. Slors. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops (puteri sulung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jendral Batavia. Langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental. Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan unik. Gedung Sate memiliki areal kawasan seluas ± 27.990,859 m² dan luas gedung ± 10.877,734 m². Gedung Sate ini berbatasan dengan utara: Jalan Diponegoro/Lapangan Gasibu, timur: Jalan Cilaki/Gedung Museum Pos Indonesia, selatan: Jalan Cimanggis, barat: Jalan Cimalaya.
Bangunan Gedung Sate dipengaruhi ornamen
Hindu dan Islam. Pada dinding fasade depan terdapat ornamen berciri
tradisional, seperti bangunan candi Hindu, sedangkan ditengah-tengah bangunan
induk Gedung Sate, terdapat menara dengan atap susun (tumpang) seperti Meru di
Bali atau atap Pagoda. Bentuk bangunan ini menjadi unik bentuknya sebagai
perpaduan gaya arsitektur timur dan barat. Gaya seni bangunan yang memadukan
langgam arsitektur tradisional Indonesia dengan kemahiran teknik konstruksi
barat disebut Indo-Eropeesche architectuur Stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa).
Pada puncak Gedung Sate terdapat enam tusuk sate yang menyimbulkan enam juta
Gulden yang dihabiskan sebagai biaya pembangunannya.
Pada masa perang mempertahankan
kemerdekaan negara RI dari Belanda (Ghurka) yang ingin kembali menjajah, gedung
Sate ini oleh para pemuda dipertahankan sampai titik darah penghabisan dan pada
akhirnya mereka gugur pada tanggal 3 Desember 1945 dan sebagai penghargaan atas
jasa mereka dibangun sebuah monumen peringatan yang berdiri di depan Gedung
Sate.
Gedung Sate pada masa Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda berfungsi sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda dan kini,
dipergunakan sebagai Kantor Pusat Pemerintahan Jawa Barat. Gedung ini dapat
dikatakan sebagai Landmark Kota Bandung karena mempunyai bentuk bangunan yang
khas dan kehadiran penampilannya sangat kuat. Sosok bangunan Gedung Sate dengan
menaranya yang beratap susun kini menjadi simbol atau ciri visual Propinsi Jawa
Barat.
Gedung Sate dapat saja dijadikan sebagai
objek pariwisata sejarah, karena di kawasan ini terdapat bangunan bersejarah
lainnya seperti Museum Geologi dan Gedung Dwiwarna. Selain itu dapat digunakan
sebagai bahan kajian arsitektur Eropa bagi mahasiwa/pelajar. Gedung Sate
apabila dijadikan objek wisata sejarah diupayakan pada hari-hari libur atau
hari besar nasional agar tidak mengganggu aktifitas kantor serta perizinan dan
keamanan harus lebih dioptimalkan.
(Sumber : www.nanangbewos.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar